BAB IX
MASYARAKAT MADANI
1. Pendahuluan
Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil
society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam
ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara
festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh
Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah
kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial
yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara
kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena
sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada
hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai
Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum
Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf
sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2:
185).
Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal
bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang
menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar
yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang
ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara
pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah,
nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl
[16]: 125. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi
bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat
berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan
umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada
siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.
Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan
antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk
akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap
seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap
yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka
kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
Konsep masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang
menggambarkan maasyarakat beradab yang mengacu pada nila-inilai kebajikan
dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip interaksi sosial yang
kondusif bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
2. Konsep Masyarakat Madani
Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep
“civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar
Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil
society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat
Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai
legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam
masyarakat muslim modern.
Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil
society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat.
Cicero adalah orang Barat yang pertama kali menggunakan kata “societies
civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami
sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari
pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai
menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian
kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk
menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil
society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan
pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan
ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat
madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas
adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang
meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang
rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam
buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan
masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran
atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu
Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak
arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada
Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil,
sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate
(1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of
voluntary activity which takes place outside of government and the market.”
Merujuk pada Bahmueller (1997).
3. Pengertian
Masyarakat Madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan
teknologi. Allah SWT memberikan gambaran
dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:
Sesungguhnya
bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua
buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
“Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang
Maha Pengampun”.
Pengertian masyarakat madani, terlebih dahulu perlu
diperhatikan berbagai pendapat beberapa ahli yang memberikan konsep tentang
masyarakat madani. Adapun beberapa pendapat tersebut sebagai berikut:
1.
Zbigniew Rau, dengan latar belakang kajiannya pada
kawasan Eropa Timur dan Uni Soviet. Masyarakat madani atau civil society adalah
sebuah masyarakat yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara yang
diekspresikan dalam gambara ciri-cirinya yaitu individualisme, pasar (market)
dan pluralisme.
2.
Han Sung Joa dengan latar belakang kasus Korsel.
Masyarakat madani atau civil society adalah sebuah kerangka hukum yang
melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang
terbebas dari negara, suatu ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu
politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan independen,
yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas
dan solidaritas yang terbentuk.
3.
Kim Sunhyuk, latar belakang kajiannya pada kasus Korea Selatan. Masyarakat
madani atau civil society adalah organisasi-organisasi kemasyarakatan yang
relatif memposisikan secara otonom dari pengaruh dan kekuasaan negara
dengan mensyaratkan adanya ruang publik (public sphere) untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingan tertentu.
Dari ketiga pendapat di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa civil society adalah sebuah kelompok atau
tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan negara,
memiliki ruang publik (public sphere) dalam mengemukakan pendapat,
adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan
kepentingan publik.
Dalam perkembangannya, di
Indonesia term civil society mengalami pernerjemahan antara lain:
Pertama, Masyarakat Madani.
Konsep ini digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada
Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah Festifal Istiqlal 26 September
1995 di Jakarta. Menurutnya, masyarakat madani adalah kelompok masyarakat yang
memiliki peradaban maju. Terjemahan makna ini diikuti cendekiawan Indonesia
seperti Nurcholis majid, M.Dawam Rahardja, Azyumardi Azra dan sebagainya.
Masyarakat madani (civil society) adalah sebuah tatanan komunitas masyarakat
yang mengedepankan toleransi, demokrasi dan berkeadaban serta menghargai akan
adanya pluralisme (kemajemukan).
Kedua. Masyarakat Sipil.
Istilah ini dikemukakan Mansour Fakih untuk menyebutkan prasyarat masyarakat
dan negara dalam rangka proses penciptaan dunia secara mendasar baru dan lebih
baik.
Ketiga, Masyarakat Kewargaan. Konsep ini digulirkan M.Ryas Rasyid
yang menyatakan bahwa masyarakat kewargaan merupakan respon dari keinginan
untuk menciptakan warga negara sebagai bagian integral negara yang mempunyai
andil dalam setiap perkembangan dan kemajuan negara (state).
Keempat, Civil Society.
Konsep ini digulirkan M.AS. Hikam yang menyatakan civil society adalah
nilai-nilai kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain:
kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating) dan keswadayaan
(self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterkaitan
dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.
Dengan mencermati beberapa
pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani atau civil
society adalah sebuah tatanan komunitas masyarakat yang mengedepankan
toleransi, demokrasi dan berkeadaban serta menghargai akan adanya pluralisme
(kemajemukan).
4. Masyarakat Madani Dalam Sejarah
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai
masyarakat madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara
Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi
dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi
kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan
kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi,
menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap
keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk
agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
Karakteristik Masyarakat Madani, Ada
beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya
individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui
kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga
kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh
kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program
pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang
berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya
kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap
keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuh kembangnya kreatifitas
yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty)
dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya
dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat
melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
8. Bertuhan, artinya bahwa
masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan
dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya masing-masing
elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati
pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong tanpa mencampuri
urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
11. Toleran, artinya tidak mencampuri
urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan
manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda
tersebut.
12. Keseimbangan antara hak dan
kewajiban sosial.
13. Berperadaban tinggi, artinya
bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan
memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14. Berakhlak mulia.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya
dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis
dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan
pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya
memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk
mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian,
masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken
for granted.
Masyarakat madani adalah konsep yang
cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus
menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat
dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus
dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance
(pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan
democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil
security; civil responsibility dan civil resilience).
Apabila diurai, dua kriteria
tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam
masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail
capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas
kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata
lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga
swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama
dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap
saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga
ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan
kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar
mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka
masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan
terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan
faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia.
Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses
mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).
Rambu-rambu tersebut dapat menjadi
jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak
belakang dengan semangat negara-bangsa:
1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti
prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang
terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan
mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi
dan keadilan sosial.
2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan
antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas
terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan
kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk
mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara
integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata
Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan,
pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”
Sebaliknya,
rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras
tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu
klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari
ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual,
organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras
berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi
ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya
menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat
dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan
larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang
berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan
dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi
kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau
sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.
Konsep Masyarakat Madani semula
dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam
suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses
demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian
memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu
kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an,
akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai
masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita
perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan
istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam
membangun masyarakat bangsa.
Masyarakat Sipil adalah terjemahan
dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin civilas
societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal
penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian
diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan
tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan
dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud
pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang
struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara.
Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga
moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih.
Gellner:1996).
Seperti Durkheim, pusat perhatian
Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi
sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi
ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia
juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling
mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan
masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep
masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian
dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di
mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin.
Selanjutnya sebagai pembanding,
Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara keduanya
adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan
dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan
sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi
seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran
Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan
masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara
tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun
yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan
yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat
Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga
keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya,
masyarakat sipil.
Pada kenyataannya, apabila kita
konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat
Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada
“masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung
muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan
analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat
Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang
diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di
luar negara.
Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat
dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya),
menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat
Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama)
semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib
berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7).
Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki
hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad
SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau
memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di
bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah
konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep
yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu.
Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.
Meski Alquran tidak menyebutkan
secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau
petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam
sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang
ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan
menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah.
Prinsip terciptanya masyarakat
madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari
Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi
gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan
cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang dua tahun pascahijrah atau
tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur
masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa
perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian
solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah
ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa,
Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk
Yahudi dan Nasrani.
Dalam pandangan saya, setidaknya ada
tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani:
Pertama, diakuinya
semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang
tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu
kaidah yang abadi dalam pandangan Alquran. Pluralitas juga pada dasarnya
merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Alquran
surat Al-Hujurat (49) ayat 13.
Dengan kata lain, pluralitas
merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Dalam ajaran
Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan umat
melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan
sumber dan motivator terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran yang
hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad
Imarah:1999).
Satu hal yang menjadi catatan
penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta
manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan (ability)
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan identitas
sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.
Kedua, adalah
tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim
maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan
sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.
Senada dengan hal itu, Quraish
Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-mata mempertahankan
kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui eksistensi agama lain
dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati satu
sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah.
Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman
Allah yang termaktub dalam surat Al-An’am ayat 108.
Ketiga, adalah
tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah
musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi
dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah
terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat
nilai-nilai demokrasi (surat As-Syura:38, surat Al-Mujadilah:11).
Ketiga prinsip dasar setidaknya
menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya sebuah tatanan sosial
masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut menjadi
modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.
5. Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan
Masyarakat Madani
Dalam sejarah Islam, realisasi
keunggulan normatif atau potensial umat Islam terjadi pada masa Abbassiyah.
Pada masa itu umat Islam menunjukkan kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu
pengetahuan dan teknologi, militer, ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang
lainnya. Umat Islam menjadi kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama
ilmuwan besar dunia lahir pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam
al-Ghazali, al-Farabi, dan yang lain.
Kualitas SDM
Umat Islam, Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110
Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.
Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa
Allah menyatakan bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok
manusia yang Allah ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah
keunggulan kualitas SDMnyadibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat
Islam yang dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan
riil.
Posisi Umat Islam SDM umat Islam saat ini belum mampu
menunjukkan kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik
dalam bidang politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi,
belum mampu menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat
Islam lebih dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum
mampu memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri
ini bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai
oleh nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak
Islam.
6. Sistem Ekonomi Islam dan
Kesejahteraan Umat
Menurut ajaran Islam, semua kegiatan
manusia termasuk kegiatan sosial dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid
(keesaan Allah). Setiap ikatan atau hubungan antara seseorang dengan orang lain
dan penghasilannya yang tidak sesuai dengan ajaran tauhid adalah ikatan atau
hubungan yang tidak Islami. Dengan demikian realitas dari adanya hak milik
mutlak tidak dapat diterima dalam Islam, sebab hal ini berarti mengingkari
tauhid. Manurut ajaran Islam hak milik mutlak hanya ada pada Allah saja. Hal
ini berarti hak milik yang ada pada manusia hanyalah hak milik nisbi atau
relatif. Islam mengakui setiap individu sebagai pemilik apa yang diperolehnya
melalui bekerja dalam pengertian yang seluas-luasnya, dan manusia berhak untuk
mempertukarkan haknya itu dalam batas-batas yang telah ditentukan secara khusus
dalam hukum Islam. Pernyataan-pernyataan dan batas-batas hak milik dalam Islam
sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri, yaitu dengan sistem keadilan dan
sesuai dengan hak-hak semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Di dalam ajaran Islam terdapat dua
prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang
berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun
boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan
sosial ekonomi di kalangan mereka saja. Islam memandang umat manusia sebagai
satu keluarga, maka setiap manusia adalah sama derajatnya di mata Allah dan di
depan hukum yang diwahyukannya. Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama
terhadap seluruh anggota masyarakat di muka hukum tidaklah ada artinya kalau
tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang
memperoleh hak atas sumbangan terhadap masyarakat.
Allah melarang hak orang lain, sebagaimana dijelaskan
dalam Q.S. al-Syu’ara ayat 183:
Artinya: Dan janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;
Dalam komitmen Islam yang khas dan
mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan sosial, maka ketidakadilan
dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Akan tetapi, konsep
Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang
keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang
sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat. Islam mentoleransi
ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, akrena setiap orang tidaklah
sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat.
Dalam Q.S. An-Nahl ayat 71 disebutkan:
Artinya: Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian
yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu)
tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar
mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat
Allah.
Dalam ukuran tauhid, seseorang boleh
menikmati penghasilannya sesuai dengan kebutuhannya. Kelebihan penghasilan atau
kekayaannya. Kelebihan penghasilan atau kekayaannya harus dibelanjakan sebagai
sedekah karena Alah.
Banyak ayat-ayat Allah yang mendorong manusia untuk
mengamalkan sedekah, antara lain Q.S. An-nisa ayat 114:
Artinya: Tidak ada
kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian
Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang
besar.
Dalam ajaran Islam ada dua dimensi
utama hubungan yang harus dipelihara, yaitu hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat. Kedua hubungan itu harus
berjalan dengan serentak. Dengan melaksanakan kedua hungan itu hidup manusia
akan sejahtrera baik di dunia maupun di akhirat kelak.
7. Manajemen Zakat
a. Pengertian
dan Dasar Hukum Zakat
Zakat adalah memberikan harta yang telah mencapai nisab dan haul kepada
orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Nisab adalah
ukuran tertentu dari harta yang dimiliki yang mewajibkan dikeluarkannya zakat,
sedangkan haul adalah berjalan genap satu tahun. Zakat juga berarti kebersihan,
setiap pemeluk Islam yang mempunyai harta cukup banyaknya menurut ketentuan
(nisab) zakat, wajiblah membersihkan hartanya itu dengan mengeluarkan zakatnya.
Dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah,
tumbuh, bersih, dan baik. Segala sesuatu yang bertambah disebut zakat. Menurut
istilah fikih zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk
diserahkan kepada yang berhak. Orang yang wajib zakat disebut “muzakki”,sedangkan
orang yang berhak menerima zakat disebut ”mustahiq” .Zakat
merupakan pengikat solidaritas dalam masyarakat dan mendidik jiwa untuk
mengalahkan kelemahan dan mempraktikan pengorbanan diri serta kemurahan hati.
Di dalam Alquran Allah telah berfirman sebagai berikut: Al-Baqarah: 110
Artinya: “Dan
Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
At-Taubah: 60
Artinya: “Dan
siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak
akan dianiaya (dirugikan)”.
At-Taubah:
103
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Adapun hadist yang dipergunakan dasar hukum diwajibkannya zakat antara lain
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas berikut: Dari Ibnu Abbas, bahwa
Rasulullah SAW ketika mengutus Mu’az ke Yaman, ia bersabda: “Sesungguhnya
engkau akan datang ke satu kaum dari Ahli Kitab, oleh karena itu ajaklah mereka
untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya aku adalah
utusan Allah. Kemudian jika mereka taat kepadamu untuk ajakan itu, maka
beritahukannlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka atas
mereka salat lima kali sehari semalam; lalu jika mereka mentaatimu untuk ajakan
itu, maka beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas
mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka; kemudian jika mereka taat
kepadamu untuk ajakan itu, maka berhati-hatilah kamu terhadap kehormatan
harta-harta mereka, dan takutlah terhadap doa orang yang teraniaya, karena
sesungguhnya antara doa itu dan Allah tidak hijab (pembatas)”.
b. Adapun harta-harta yang wajib dizakati itu
adalah sebagai berikut:
1. Harta yang berharga, seperti emas dan perak.
2. Hasil tanaman dan tumbuh-tumbuhan, seperti padi, gandum, kurma, anggur.
3. Binatang ternak, seperti unta, sapi, kambing, dan domba.
4. Harta perdagangan.
5. Harta galian termasuk juga harta rikaz.
c. Adapun orang yang berhak menerima zakat
adalah:
1. Fakir, ialah orang yang tidak mempunyai dan tidak pula berusaha.
2. Miskin, ialah orang yang tidak cukup penghidupannya dengan pendapatannya
sehingga ia selalu dalam keadaan kekurangan.
3. Amil, ialah orang yang pekerjaannya mengurus dan mengumpulkan zakat
untuk dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya.
4. Muallaf, ialah orang yang baru masuk Islam yang masih lemah imannya,
diberi zakat agar menambah kekuatan hatinya dan tetap mempelajari agama Islam.
5. Riqab, ialah hamba sahaya atau budak belian yang diberi kebebasan
berusaha untuk menebus dirinya agar menjadi orang merdeka.
6. Gharim, ialah orang yang berhutang yang tidak ada kesanggupan
membayarnya.
7. Fi sabilillah, ialah orang yang berjuang di jalan Allah demi menegakkan
Islam.
8. Ibnussabil, ialah orang yang kehabisan biaya atau perbekalan dalam
perjalanan yang bermaksud baik (bukan untuk maksiat).
d. Sejarah
Pelaksanaan Zakat di Indonesia
Sejak Islam memsuki Indonesia, zakat, infak, dan sedekah merupakan sumber
sumber dana untuk pengembangan ajaran Islam dan perjuangan bangsa Indonesia
melawan penjajahan Belanda. Pemerintah Belanda khawatir dana tersebut akan
digunakan untuk melawan mereka jika masalah zakat tidak diatur. Pada tanggal 4
Agustus 1938 pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan pemerintah untuk
mengawasi pelaksanaan zakat dan fitrah yang dilakukan oleh penghulu atau naib
sepanjang tidak terjadi penyelewengan keuangan. Untuk melemahkan kekuatan
rakyat yang bersumber dari zakat itu, pemerintah Belanda melarang semua pegawai
dan priyai pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Larangan itu
memberikan dampak yang sangat negatif bagi pelakasanaan zakat di kalangan umat
Islam, karena dengan sendirinya penerimaan zakat menurun sehingga dana rakyat
untuk melawan tidak memadai. Hal inilah yang tampaknya diinginkan Pemerintah
Kolonial Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, di Aceh satu-satunya badan resmi yang mengurus
masalah zakat. Pada masa orde baru barulah perhatian pemerintah terfokus pada
masalah zakat, yang berawal dari anjuran Presiden Soeharto untuk melaksanakan
zakat secara efektif dan efisien serta mengembangkannya dengan cara-cara yang
lebih luas dengan pengarahan yang lebih tepat. Anjuran presiden inilah yang
mendorong dibentuknya badan amil di berbagai propinsi.
e. Manajemen
Pengelolaan Zakat Produktif
Sehubungan pengelolaan zakat yang kurang optimal, sebagian masyarakat yang
tergerak hatinya untuk memikirkan pengelolaan zakat secara produktif, sehingga
mampu meningkatkan kesejahteraan umat Islam pada umumnya dan masyarakat pada
umumnya. Oleh karena itu, pada tahun 1990-an, beberapa perusahaan dan
masyarakat membentuk Baitul Mal atau lembaga yang bertugas mengelola dan zakat,
infak dan sedekah dari karyawan perusahaan yang bersangkutan dan masyarakat.
Sementara pemerintah juga membentuk Badan Amil Zakat Nasional.
Dalam pengelolaan zakat diperlukan
beberapa prinsip, antara lain:
1. Pengelolaan harus berlandasakn Alquran dan Assunnah.
2. Keterbukaan. Untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
amil zakat, pihak pengelola harus menerapkan manajemen yang terbuka.
3. Menggunakan manajemen dan administrasi modern.
4. Badan amil zakat dan lembaga amil zakat harus mengelolah zakat dengan
sebaik-baiknya.
Selain itu amil juga harus berpegang teguh pada tujuan pengelolaan zakat,
antara lain:
1. Mengangkat harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya keluar dari
kesulitan dan penderitaan.
2. Membantu pemecahan masalah yang dihadapi oleh para mustahik
3. Menjembatani antara yang kaya dan yang miskin dalam suatu masyarakat.
4. Meningkatkan syiar Islam
5. Mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara.
6. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat.
f. Hikmah Ibadah Zakat
Apabila prinsip-prinsip pengelolaan dan tujuan pengelolaan zakat
dilaksanakan dipegang oleh amil zakat baik itu berupa badan atau lembaga, dan
zakat, infak, dan sedekah dikelola dengan manajemen modern dengan tetap
menerapkan empat fungsi standar manajemen, tampaknya sasaran zakat, infak
maupun sedekah akan tercapai.
Zakat memiliki hikmah yang besar, bagi muzakki, mustahik, maupun bagi
masyarakat muslim pada umumnya. Bagi muzakki zakat berarti mendidik jiwa
manusia untuk suka berkorban dan membersihkan jiwa dari sifat kikir, sombong
dan angkuh yang biasanya menyertai pemilikan harta yang banyak dan berlebih.
Bagi mustahik, zakat memberikan harapan akan adanya perubahan nasib dan
sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan suudzan terhadap orang-orang
kaya, sehingga jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dapat dihilangkan.
Bagi masyarakat muslim, melalui zakat akan terdapat pemerataan pendapatan
dan pemilikan harta di kalangan umat Islam. Sedangkan dalam tata masyarakat
muslim tidak terjadi monopoli, melainkan sistim ekonomi yang menekankan kepada
mekanisme kerja sama dan tolong-menolong.
8. Manajemen Wakaf
Wakaf adalah salah satu bentuk dari lembaga ekonomi Islam. Ia merupakan
lembaga Islam yang satu sisi berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, sedangkan
di sisi lain wakaf juga berfungsi sosial. Wakf muncul dari satu pernyataan dan
perasaan iman yang mantap dan solidaritas yang tinggi antara sesama manusia.
Dalam fungsinya sebagai ibadah ia diharapkan akan menjadi bekal bagi si wakif
di kemudian hari, karena ia merupakan suatu bentuk amalan yang pahalanya akan
terus menerus mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan. Sedangkan dalam
fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset amat bernilai dalam pembangunan umat.
1. Pengertian
Wakaf
Istilah wakaf beradal dari “waqb” artinya menahan. Menurut H. Moh. Anwar
disebutkan bahwa wakaf ialah menahan sesuatu barang daripada dijual-belikan
atau diberikan atau dipinjamkan oleh yang empunya, guna dijadikan manfaat untuk
kepentingan sesuatu yang diperbolehkan oleh Syara’ serta tetap bentuknya dan
boleh dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan (yang
meneriman wakafan), perorangan atau umum.
Adapun ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang menerangkan tentang wakaf ini
ialah:
Al-Baqarah ayat 267:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di
jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa
yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Al-Hajj ayat 77
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah
kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.
“Abu
Hurairah r.a. menceritakan, bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Jika seorang
manusia meninggal dunia, maka terputuslah masa ia melanjutkan amal, kecuali
mengenai tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (waqafnya) selama masih dipergunakan,
ilmunya yang dimanfaatkan masyarakat, dan anak salehnya yang mendo’akannya.”
(Riwayat Muslim).”
“Abu
Hurairah r.a. menceritakan bahwa Rasullullah SAW mengutus Umar untuk memungut
zakat…… di dalam hadist itu terdapat pula Khalid mewakafkan baju besi dan
perabot perangnya di jalan Allah.
2.
Rukun Wakaf
Adapun beberapa rukun wakaf ialah:
1) Yang berwakaf, syaratnya:
- Berhak berbuat
kebaikan walau bukan Islam sekalipun
- Kehendak
sendiri, ridak sah karena dipaksa
2) Sesuatu yang diwakafkan, syaratnya:
- Kekal zatnya, berarti bila diambil manfaatnya, barangnya tidak rusak.
- Kepunyaan yang mewakafkan walaupun musya (bercampur dan tidak dapat
dipisahkan dari yang lain).
3) Tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu).
4) Lafadz wakaf, seperti: “saya wakafkan ini kepada orang-orang miskin dan
sebagainya.
3. Syarat Wakaf
Syarat wakaf
ada tiga, yaitu:
1) Ta’bid, yaitu untuk selama-lamanya/tidak terbatas waktunya.
2) Tanjiz, yaitu diberikan waktu ijab kabul.
3) Imkan-Tamlik, yaitu dapat diserahkan waktu itu juga
4. Hukum Wakaf
1) Pemberian tanah wakaf tidak dapat ditarik kembali sesudah diamalkannya
karena Allah.
2) Pemberian harta wakaf yang ikhlas karena Allah akan mendapatkan ganjaran
terus-menerus selagi benda itu dapat dimanfaatkan oleh umum dan walaupun bentuk
bendanya ditukar dengan yang lain dan masih bermanfaat.
3) seseorang tidak boleh dipaksa untuk berwakaf karena bisa menimbulkan
perasaan tidak ikhlas bagi pemberiannya.
9. Kesimpulan
Untuk mewujudkan masyarakat madani
dan agar terciptanya kesejahteraan umat maka kita sebagai generasi penerus
supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga
harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat
sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak ketinggalan
berita. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan materi
yang ada di bab II ialah bahwa di dalam mewujudkan masyarakat madani dan
kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
diamanatkan oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat akhir zaman. Sebelumnya
kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat madani itu dan
bagaimana cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut, serta
ciri-ciri apa saja yang terdapat pada masyarakat madani sebelum kita yakni pada
zaman Rasullullah.
Selain memahami apa itu masyarakat
madani kita juga harus melihat pada potensi manusia yang ada di masyarakat,
khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia sangat mendukung
kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang
dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik pula
hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki potensi yang
kurang di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh
karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui
latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.
Adapun di dalam Islam mengenal yang
namanya zakat, zakat memiliki dua fungsi baik untuk yang menunaikan zakat
maupun yang menerimanya. Dengan zakat ini kita dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat higga mencapai derajat yang disebut masyarakat madani. Selain zakat,
ada pula yang namanya wakaf. Wakaf selain untuk beribadah kepada Allah juga
dapat berfungsi sebagai pengikat jalinan antara seorang muslim dengan muslim
lainnya. Jadi wakaf mempunyai dua fungsi yakni fungsi ibadah dan fungsi sosial.
Maka diharapkan kepada kita semua
baik yang tua maupun yang muda agar dapat mewujudkan masyarakat madani di
negeri kita yang tercinta ini yaitu Indonesia. Yakni melalui peningkatan
kualiatas sumber daya manusia, potensi, perbaikan sistem ekonomi, serta
menerapkan budaya zakat, infak, dan sedekah. Insya Allah dengan menjalankan
syariat Islam dengan baik dan teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa
ini secara perlahan. Demikianlah makalah rangkuman materi yang dapat kami
sampaikan pada kesempatan kali ini semoga di dalam penulisan ini dapat
dimengerti kata-katanya sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di masa yang
akan datang.
Wassalamu’alaiku wr.wrb.
DAFTAR
PUSTAKA
Suito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate
Muslim Indonesia: Jakarta.
Mansur, Hamdan. 2004. Materi Instrusional Pendidikan Agama Islam.
Depag RI: Jakarta.
Suharto, Edi. 2002. Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme
Community Workers Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan. STKS
Bandung: Bandung.
Sosrosoediro, Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil
Religion. MUI: Jakarta.
Sutianto, Anen. 2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan.
Pikiran Rakyat: Bandung.
Suryana, A. Toto, dkk. 1996. Pendidikan Agama Islam. Tiga Mutiara:
Bandung
Sudarsono. 1992. Pokok-pokok Hukum Islam. Rineka Cipta: Jakarta.
Tim Icce UIN Jakarta. 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani. Prenada Media: Jakarta.
Berilah
tanda silang (x) pada huruf a, b, c, d, atau e di depan jawaban yang tepat!
1. Istilah demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, demos dan kratos/kratein. Demos
berarti ….
a. rakyat
b. bangsa
c. pemerintah
d. lembaga
e. negara
2. Pada masa Yunani
Kuno, Negara Athena menerapkan sistem demokrasi ….
a. referendum
b. demokrasi liberal
c. demokrasi langsung
d. demokrasi
perwakilan
e. demokrasi tidak
langsung
3. Demokrasi
adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pengertian demokrasi
di atas dikemukakan oleh ….
a. Sigmund Freud
b. Aristoteles
c. Huntington
d. Abraham Lincoln
e. Louis IV
4. Institutionalized
peacefull settlement of confl ict, berarti ….
a. menyelesaikan
perselisihan dengan damai dan secara melembaga
b. menjamin
terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang
sedang berubah
c. menyelenggarakan
penggantian pemimpin secara teratur (membatasi pemakaian
kekerasan/paksaan
seminimal mungkin
d. mengakui serta
menganggap wajar adanya keanekaragaman
e. menjamin
terselenggaranya perubahan secara alami dalam suatu masyarakat yang
sedang berubah
5. Asas pokok yang
harus melandasi penerapan pemerintahan yang demokratis adalah ….
a. mufakat dan
votting
b. permusyawaratan
dan keadilan sosial
c. keterbukaan dan
efektivitas
d. asas langsung dan
tidak langsung
e. partisipasi rakyat
serta pengakuan harkat dan martabat manusia
6. Dasar pelaksanaan
demokrasi konstitusional adalah ….
a. kebebasan individu
b. transparansi
c. persamaan hak
d. kedewasaan sikap
e. asas kekeluargaan
7. Masyarakat madani
adalah suatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang
mengandalkan ruang di
mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung,
bersaing satu sama
lainnya guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini.
Pernyataan di atas
dikemukakan oleh ….
a. John Locke
b. Machiavelli
c. Zbighiew Rau
d. Cicero
e. A.S. Hikam
8. Menurut A.S.
Hikam, civil society didefi nisikan sebagai ....
a. keterjaminan hak
sosial dan hak individu
b. pemerataan
pembangunan dan kesepahaman masyarakat terhadap kebijakan
pemerintah
c. wilayah-wilayah
kehidupan sosial yang terorganisasi
d. kerelaan dalam
menyikapi setiap perubahan
e. kekuasaan di
tangan masyarakat sipil
9. Self generating
berkaitan dengan ....
a. kesukarelaan
b. keswasembadaan
c. keswadayaan
d. kemandirian
e. norma-norma hukum
10. Berikut ini
merupakan prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani,
kecuali ….
a. democratic
governance
b. democratic
civilian
c. civil security
d. civil
responsibility
e. civil resistant
11. Ciri khas dari
pemerintahan yang bersih tercantum di bawah ini, kecuali ....
a. dipercaya
b. mampu berkuasa
c. dapat diterima
d. dapat memimpin
e. pemerintahan
bersih
12. Demokrasi
Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber pada kepribadian dan
falsafah hidup bangsa
Indonesia, yang perwujudannya seperti dalam ketentuan-ketentuan
Pembukaan UUD 1945.
Pernyataan di atas
dikemukakan oleh ….
a. Ramlan Surbakti
b. A.S. Hikam
c. Prof. Dardji
Darmadihardja, S.H.
d. Mochtar
Kusumaatmadja
e. Hendry B. Mayo
13. Berikut ini
tercantum ciri khas demokrasi Pancasila, kecuali ….
a. Demokrasi
Pancasila bersifat kekeluargaan dan kegotongroyongan yang bernapaskan
Ketuhanan Yang Maha
Esa.
b. Demokrasi
Pancasila harus menghargai hak-hak asasi manusia serta menjamin adanya
hak-hak minoritas.
c. Pelaksanaan
Pembukaan UUD 1945 dan penjabarannya yang dituangkan dalam
Batang Tubuh dan
Penjelasan UUD 1945.
d. Pengambilan
keputusan dalam demokrasi Pancasila sedapat mungkin didasarkan atas
musyawarah untuk
mufakat.
e. Demokrasi
Pancasila harus bersendikan hukum, rakyat sebagai subjek demokrasi
berhak untuk ikut
secara efektif untuk menentukan kehidupan bangsa dan negara.
14. Berdasarkan aspek
formal demokrasi Pancasila merupakan bentuk atau cara ….
a. melaksanakan
kehendak rakyat
b. pembagian
kekuasaan
c. pengambilan
keputusan
d. pengawasan
kelembagaan
e. pemerataan
kekuasaan
15. Berikut ini
merupakan aspek-aspek yang tercantum dalam demokrasi Pancasila, kecuali
….
a. amandemen
undang-undang dasar negara
b. partai politik dan
golongan karya
c. pola pengambilan
keputusan/tata cara musyawarah
d. pemilihan umum
e. sistem pembagian
kekuasaan
16. Prinsip bahwa
setiap individu memiliki hak yang mutlak dan tidak ada suatu kekuasaan
yang boleh melanggar
hak-hak tersebut terkandung dalam ….
a. vandalisme
b. liberalisme
c. sosialisme
d. anarkisme
e. aristokrasi
17. Maklumat Wakil
Presiden Nomor X Tanggal 16 Oktober 1945 berisi tentang ....
a. Pembentukan Partai
Politik
b. Perubahan KNIP
menjadi Lembaga Legislatif
c. Pengesahan Badan
Konstituante
d. Pembekuan Komite
Nasional
e. Perubahan Sistem Pemerintahan
Presidensial menjadi Parlementer.
18. Pancasila tidak
ditafsirkan secara bulat dan utuh, akan tetapi secara terpisah.
Konsepsi tersebut
terjadi pada masa ….
a. demokrasi liberal
b. demokrasi
terpimpin
c. orde baru
d. reformasi
e. awal kemerdekaan
19. Berikut ini
beberapa hal yang diangggap sebagai penyimpangan pelaksanaan demokrasi
pada masa Orde Baru,
kecuali ….
a. terjadi
sentralistik kekuasaan yang menjurus menjurus pada otoriter.
b. desentralisasi
kekuasaan mengakibatkan pelaksanaan pembangunan tidak merata.
c. merebaknya
praktik-praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dalam pemerintahan.
d. terjadi monopoli
di bidang perekonomian oleh kelompok tertentu yang dekat dengan
kekuasaan.
e. tidak adanya
pembatasan jabatan presiden.
20. Salah satu upaya
perbaikan pelaksanaan demokrasi adalah ….
a. membatasi partai
politik peserta pemilu
b. pemilu untuk
memilih presiden dan wakil presiden melalui lembaga perwakilan
c. pelaksanaan pemilu
secara berkala
d. pemilihan kepala
daerah secara langsung
e. pengaturan penyampaian aspirasi
BAB 2: BUDAYA
DEMOKRASI MENUJU MASYARAKAT MADANI
A. Pilihan Ganda
1. a
2. c
3. d
4. a
5. c
6. a
7. c
8. c
9. b
10. e
11. b
12. c
13. c
14. c
15. a
16. b
17. b
18. b
19. b
20. b
Tidak ada komentar:
Posting Komentar