BAB
III
PANCASILA DAN IMPLEMENTASINYA
1. Pendahuluan
Sejak proklamai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa dan negara
Indonesia tidak luput dari gejolak dan ancaman dari dalam dan luar negeri yang
nyaris membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Sebagai salah satu makhluk Allah, manusia dikatakan sebagai makhluk yang
sempurna karena manusia memiliki naluri, kemampuan berfikir, akal dan berbagai
keterampilan. Karena itu manusia sebagai makhluk berbudaya akan selalu
mengadakan hubungan:
a. Dengan maha
pencipta, menggunakan saluran agama
b. Dengan
cita-cita, menggunakan saluran ideologi
c. Dengan
kakuatan / kekuasaan, menggunakan saluran politik
d. Dengan
pemenuhan kebutuhan, menggunakan saluran ekonomi
e. Dengan
manusia, disebut interaksi sosial
f. Dengan
rasa keindahan, disebut apresiasi seni / budaya
Tujuan nasional manjadi pokok pikiran dalam ketahanan nasional karena suatu
organisasi, apapun bentuknya akan selalu berhadapan dengan masalah-masalah
internal dan eksternal dalam proses pencapaian tujuan yang telah ditetapkannya.
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah mewujudkan warga negara sadar bela
negara berlandaskan pemahaman politik kebangsaan, dan kepekaan mengembangkan
jati diri dan moral bangsa dalam perikehidupan bangsa.
Mahasiswa adalah bibit unggul bangsa yang di mana pada masanya nanti bibit
ini akan melahirkan pemimpin dunia. Karena itulah diperlukan pendidikan moral
dan akademis yang akan menunjang sosok pribadi mahasiswa. Kepribadian mahasiswa
akan tumbuh seiring dengan waktu dan mengalami proses pembenahan, pembekalan,
penentuan, dan akhirnya pemutusan prinsip diri. Negara, masyarakat masa datang,
diperlukan ilmu yang cukup untuk dapat mendukung kokohnya pendirian suatu
Negara.
Negara yang akan melangkah maju membutuhkan daya dukung besar dari
masyarakat, membutuhkan tenaga kerja yang lebih berkualitas, dengan semangat
loyalitas yang tinggi. Negara didorong untuk menggugah masyarakat agar dapat
tercipta rasa persatuan dan kesatuan serta rasa turut memiliki. Masyarakat
harus disadarkan untuk segera mengabdikan dirinya pada negaranya, bersatu padu
dalam rasa yang sama untuk menghadapi krisis budaya, kepercayaaan, moral dan
lain-lain. Negara harus menggambarkan image pada masyarakat agar timbul rasa
bangga dan keinginan untuk melindungi serta mempertahankan Negara kita.
Pendidikan kewarganegaraan adalah sebuah sarana tepat untuk memberikan gambaran
secara langsung tentang hal-hal yang bersangkutan tentang kewarganegaraan pada
mahasiswa.
Pendidikan kewarganegaraan sangat penting. Dalam konteks Indonesia,
pendidikan kewarganegaraan itu berisi antara lain mengenai pruralisme yakni
sikap menghargai keragaman, pembelajaran kolaboratif, dan kreatifitas. Pendidikan
itu mengajarkan nilai-nilai kewarganegaraan dalam kerangka identitas nasional.
Seperti yang pernah diungkapkan salah satu rektor sebuah universitas,
“tanpa pendidikan kewarganegaraan yang tepat akan lahir masyarakat egois. Tanpa
penanaman nilai-nilai kewarganegaraan, keragaman yang ada akan menjadi penjara
dan neraka dalam artian menjadi sumber konflik. Pendidikan, lewat kurikulumnya,
berperan penting dan itu terkait dengan strategi kebudayaan.”
2. Pengertian Ideologi
Istilah ideologi terbentuk dari kata idea dan logos.
Idea berasal dari bahasa Yunani, ideos yang artinya bentuk atau idein yang
berarti melihat. Kata idea berarti gagasan, ide, cita-cita atau konsep.
Sedangkan logos berarti ilmu. Jadi, secara harfiah ideologi berarti ilmu
pengetahuan tentang ide-ide (the science if ideas).
Berikut ini beberapa
pengetahuan tentang ideologi dari para ahli:
a. Soerjanto Poespowaedojo
Ideologi
dapat dirumuskan sebagai kompleks pengetahuan dan nilai yang secara keseluruhan
menjadi landasan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami jagat raya,
bumi, dan seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengolahnya.
b. M. Sastrapratedja
Ideologi
adalah seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang
diorganisir dalam suatu sistem yang teratur.
c. A.T. Soegito
Ideology
adalah serangkaian pemikiran yang berkaitan dengan tertib sosial dan politik
yang ada,serta berupaya untuk mengubah serta mempertahankan tertib sosial
politik yang bersangkutan.
d. Ramlan Surbakti
Ideologi
dilukiskan sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama yang dirumuskan
dalam bentuk tujuan yang hendak dicapai dan cara – cara yang digunakan untuk
mencapai tujuan itu.
e. Fransn Magnis Suseno Ideologi dapat
dibedakan dalam dua pengertian, yaitu :
1) Ideologi dalam pengertian luas
Ideologi
berarti segala kelompok cita-cita luhur, nilai – nilai dasar, dan keyakinan –
keyakinan yang mau dijunjung tinggi sebagai pedoman normative. Ideologi dalam
arti luas ini selanjutnya dikatakan sebagai ideology terbuka.
2) Ideologi dalam pengertian sempit
Ideologi
adalah gagasan atau teori yang menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai
yang akan menentukan dengan mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak.
Ideologi dalam arti sempit selanjutnya disebut sebagai ideologi tertutup.
Unsur Ideologi Menurut M. Sastrapratedja, ideologi
sebagai seperangkat gagasan mengandung tiga unsure, yaitu:
a. Berisi
penafsiran atau pemahaman terhadap suatu kenyataan, artinya orang atau masyarakat dapat membuat penafsiran tentang
keadaan berdasar ideologi.
b. Berisi nilai-nilai yang dianggap baik dan
diterima oleh masyarakat sebagai pedoman bertindak, artinya masyarakat dapat
berbuat berdasarkan nilai yang dianggap baik.
c. Memuat suatu orientasi tindakan, artinya
ideologi merupakan suatu pedoman kegiatan untuk melaksanakan nilai – nilai yang
terkandung di dalamnya.
3.
Pengertian
Pancasila
1. Pengertian Pancasila
secara Etimologis
Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta dari India.
Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa Sansekerta kata Pancasila memiliki dua
macam arti secara leksikal, yaitu : Panca dan Sila. Panca artinya lima, sila
artinya batu sendi, alas, dasar, peraturan tingkah laku yang baik/senonoh.
Secara etimologis kata Pancasila berasal dari
Pancasila yang memiliki arti secara harfiah dasar yang memiliki lima unsur.
Kata Pancasila mula-mula terdapat dalam kepustakaan Budha di India.Dalam ajaran
Budha terdapat ajaran moral untuk mencapai nirwana dengan melalui Samadhi dan
setiap golongan mempunyai kewajiban moral yang berbeda.Ajaran moral tersebut
adalah Dasasyiila, Saptasyiila, Pancasyiila.
2. Pengertian Pancasila
secara Historis
Pembahasan historis Pancasila dibatasi pada tinjauan
terhadap perkembangan rumusan Pancasila sejak tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan
keluarnya Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968.
Pembatasan ini
didasarkan pada dua pengandaian, yakni:
a. Telah tentang dasar negara Indonesia merdeka baru
dimulai pada tanggal 29 Mei 1945, saat dilaksanakan sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI);
b. Sesudah Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968
tersebut, kerancuan pendapat tentang rumusan Pancasila dapat dianggap tidak ada
lagi.
1) Sidang BPUPKI – 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945
Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr.
Muhammad Yamin menyampaikan telaah pertama tentang dasar negara Indonesia
merdeka sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan; 2) Peri Kemanusiaan; 3) Peri
Ketuhanan; 4) Peri Kerakyatan; 5) Kesejahteraan Rakyat. Ketika itu ia tidak
memberikan nama terhadap lima (5) azas yang diusulkannya sebagai dasar negara.
Pada
tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang yang sama, Ir. Soekarno juga mengusulkan lima
(5) dasar negara sebagai berikut: 1) Kebangsaan Indonesia; 2) Internasionalisme;
3) Mufakat atau Demokrasi; 4) Kesejahteraan Sosial; 5) Ketuhanan Yang
Berkebudayaan. Dan dalam pidato yang disambut gegap gempita itu, ia mengatakan:
“… saja namakan ini dengan petundjuk seorang teman kita – ahli bahasa, namanja
ialah Pantja Sila …” (Anjar Any, 1982:26).
2) Piagam Jakarta 22 Juni 1945
Rumusan lima dasar negara (Pancasila) tersebut
kemudian dikembangkan oleh “Panitia 9” yang lazim disebut demikian karena
beranggotakan sembilan orang tokoh nasional, yakni para wakil dari golongan
Islam dan Nasionalisme. Mereka adalah: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr.
A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Mr.
Achmad Subardjo, K.H. Wachid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin.
Rumusan sistematis dasar negara oleh “Panitia 9” itu
tercantum dalam suatu naskah Mukadimah yang kemudian dikenal sebagai “Piagam
Jakarta”, yaitu:
a)
Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemelukknya;
b)
Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab;
c)
Persatuan Indonesia;
d)
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan;
e)
Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, “Piagam
Jakarta” diterima sebagai rancangan Mukadimah hukum dasar (konstitusi) Negara
Republik Indonesia. Rancangan tersebut – khususnya sistematika dasar negara
(Pancasila) – pada tanggal 18 Agustus disempurnakan dan disahkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi:
a)
Ketuhanan Yang Maha Esa;
b)
Kemanusiaan yang adil dan beradab;
c)
Persatuan Indonesia;
d)
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan;
e)
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
Sebagaimana tercantum
dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
3) Konstitusi RIS
(1949) dan UUD Sementara (1950)
Dalam kedua konstitusi yang pernah menggantikan UUD
1945 tersebut, Pancasila dirumuskan secara „lebih singkat‟ menjadi: 1)
Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Perikemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4)
Kerakyatan; 5) Keadilan sosial.
Sementara itu di kalangan masyarakat pun terjadi
kecenderungan menyingkat rumusan Pancasila dengan alasan praktis/ pragmatis
atau untuk lebih mengingatnya dengan variasi sebagai berikut: 1) Ketuhanan; 2)
Kemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan atau Kedaulatan Rakyat; 5) Keadilan
sosial. Keanekaragaman rumusan dan atau sistematika Pancasila itu bahkan tetap
berlangsung sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang secara implisit tentu
mengandung pula pengertian bahwa rumusan Pancasila harus sesuai dengan yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
4). Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968
Rumusan yang beraneka ragam itu selain membuktikan
bahwa jiwa Pancasila tetap terkandung dalam setiap konstitusi yang pernah
berlaku di Indonesia, juga memungkinkan terjadinya penafsiran individual yang
membahayakan kelestariannya sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang
nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Menyadari bahaya
tersebut, pada tanggal 13 April 1968, pemerintah mengeluarkan Instruksi
Presiden RI No.12 Tahun 1968 yang menyeragamkan tata urutan Pancasila seperti
yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
4. Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan Nasional
Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa
Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka acuan berpikir, pola-acuan
berpikir atau jelasnya sebagaisistem nilai yang dijadikan kerangka landasan,
kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya’.
Yang menyandangnya itu di antaranya:
1.
Bidang Politik
2.
Bidang Ekonomi
3.
Bidang Social Budaya
4.
Bidang Hukum
5.
Bidang kehidupan antar umat beragama, Memahami asal
mula Pancasila.
Kelimanya
itu, dalam makalah ini, dijadikan pokok bahasan. Namun demikian agar
sistematikanya menjadi relatif lebih tepat, pembahasannya dimulai oleh
‘paradigma yang terakhir’ yaitu paradigma dalam kehidupan kampus.
1. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan.
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu
pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah
tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu
paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin
lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada
bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir,
kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan
tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai
kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam
melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai paradigma,
artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka
acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di
Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa
Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional.
Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar
negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup
manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur
penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia.
Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia
yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a. susunan
kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga
b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan
harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan
aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan
manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia
secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai
bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi
bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Pancasila
menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan
pertahanan keamanan.
2. Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau
pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat
manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek
harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai
pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas
kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik
didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena
itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral
ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral
keadilan.
Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara
dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik
yang santun dan bermoral.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa
Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin
diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk
implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:
1.
Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup
keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
2.
Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana
dalam pengambilan keputusan;
3.
Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas
kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan;
4.
Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan
pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;
5.
Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial,
demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber
pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut
perlu direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang
mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan),
masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian,
nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi
adalah:
1.
nilai toleransi;
2.
nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
3.
nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan
kata);
4.
bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid:
2000:3).
3. Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan
pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara
khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I
Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang
mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang
berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku
makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi
liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia
lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem
sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai
subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan
pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang
berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan
dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk
persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan
penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila
Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk
pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesar-besar
kemakmuran/kesejahteraan rakyat yang harus mampu mewujudkan perekonomian
nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang
seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat).
Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan
pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha
menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional.
Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi.
Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program kongkrit pemerintah
daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan
keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat
dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif.
Dalam
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.
4. Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila
bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini
sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena
itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat
manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial
budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat
anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu
meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya
dari tingkat homo
menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial
berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima
sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak
menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan
berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan
dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak
negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara
berimbang (Sila Kedua).
Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak
negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan
yang sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman
kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah
pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah
dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga
ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan
dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria
sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi
kebudayaan – kebudayaan di daerah:
Sila Pertama, menunjukan
tidak satu pun suku bangsa ataupun golongan sosial dan komunitas setempat di
Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
Sila Kedua, merupakan
nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa
membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
Sila Ketiga,
mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di
kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang
berdaulat;
Sila Keempat, merupakan
nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia
untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk
mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
Sila Kelima, betapa
nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat
perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
5. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa
tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi
juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem
pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa.
Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan
dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara,
wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh
pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut
untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap
bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta
didasarkan pada kesadaran atas hak dan
kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana
pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik
tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin
keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang
di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu:
(1) adanya
perlindungan terhadap HAM,
(2) adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan
(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
(2) adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan
(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.
Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan
UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum
positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi
negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara);
segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal
37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU dan
peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila –
sila Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’,
hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak
dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila:
(1)
Ketuhanan Yang Maha Esa,
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
(3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
(3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan
perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya,
substansi produk hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk
kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat).
6. Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan Kehidupan Umat Beragama
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa
Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan
predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia
internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan plural.
Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun terjalin
kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita.
Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak
kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama. Ketika
bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan
umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak
terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian
umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.
Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat
beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:
1. Semua
umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas (ummatan
wahidah).
2. Hubungan
antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas
lain didasarkan atas prinsip-prinsi:
a. Bertentangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama.
a. Bertentangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:
1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa
diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama;
2) pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam
menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama.
Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.)
misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah,
hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.
Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi
kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai
nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka
pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi.
Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula
bercirikan majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk
membina kerunan antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial
budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang”
di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan
bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat.
Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia
yang saat ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog
Vertikal. Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi
dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan
pengakuan akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan interdependen.
Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa
posisi manusia berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan
sebagai benda mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang
kreatif, yang berbudaya.
5. PENGERTIAN
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA POLITIK.
1.
Etika Politik.
Etika termasuk kelompok
filsafat praktis dan dibagi menjadi. dua kelompok yaitu etika umum
dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. itu dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika adalah suatu ilmu yang
membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral
tertentu, atau bagaimana kita harus menggambil sikap yang bertanggung
jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987). Etika umum
merupakan prinsip- prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia sedangkan
etika khusus membahas prinsip-prinsip Etika
khusus dibagi menjadi etika individu yang membahas
kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas tentang
kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat, yang merupakan
suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Etika berkaitan dengan
berbagai masalah nilai karena etika pada pada umumnya membicarakan
masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai "susila" dan
"tidak susila", "baik" dan "buruk".
Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan
yang berarti sifat-sifat yang menunjukan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang
yang tidak susila. Sebenarnya etika banyak bertangkutan dengan Prinsip-prinsip
dasar pembenaran dalam hubungan dengan, tingkah laku manusia
(Kattsoff, 1986). Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan
dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku manusia.
Etika adalah
kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap
terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika merupakan suatu
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti
suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggung jawab dengan
berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :
1. Etika Umum, mempertanyakan
prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2. Etika Khusus, membahas
prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek
kehidupan manusia, baik sebagai individu (etikaindividual) maupun mahluk sosial (etikasosial).
2. Pengertian Politik
Telah dijelaskan di muka bahwa etika politik termasuk lingkup etika sosial,
yang secara harfiah berkaitan dengan bidang kehidupan politik. Oleh karena itu
dan hubungan ini perlu dijelaskan terlebih dahulu lingkup pengertian politik
sebagai subjek material kajian bidang ini, agar dapat diketahui lingkup
pembahasannya secara jelas.
Pengertian 'politik' berasal dari kosa kata 'politics', yang memiliki makna
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau `negara' yang
menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan di ikuti dengan
pelaksanaan tujuan-tujuan itu. pengambilan keputusan atau 'clecisionmaking'
mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi
antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan
yang telah dipilih itu.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public
goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik
menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk portal politik, lembaga
masyarakat maupun perseorangan.
3. Dimensi Politis Manusia
1)
Manusia
sebagai makhluk Individu-Sosial
Berbagai paham antropologi filsafat memandang hakikat sifat kodrat manusia,
dari kaca mata yang berbeda-beda. Paham individualisme yang merupakan cikal
Bakal paham liberalisme, memandang manusia sebagai mahkluk individu yang bebas.
Konsekuensinya dalam setiap kehidupan masyarakat, bangsa maupun negara dasar
ontologis ini merupakan dasar moral politik negara.
Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur
berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia
sebagi individu. Sebaliknya kalangan kolektivisme yang merupakan cikal bakal
sosialisme dan komunisme memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial
saja. berdasarkan fakta dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak mungkin
memenuhi segala kebutuhannya, jikalau mendasarkan pada suatu anggapan bahwa
sifat kodrat manusia hanya bersifat individu atau sosial saja. Manusia sebagai
makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala aktivitas dan
kreativitas dalam hidupnya senantiasa tergantung kepada orang lain, hal ini
dikarenakan manusia sebagai warga masyarakat atau sebagai makhluk sosial.
Berdasarkan sifat kodrat manusia tersebut, maka dalam cara manusia
memandang dunia, menghayati dirinya sendiri, menyembah Tuhan Yang Maha Esa, dan
menyadari apa yang menjadi kewajibannya, senantiasa dalam hubungannya dengan
orang lain. Oleh karena itu, tangung jawab moral pribadi manusia hanya dapat
berkembang dalam kerangka hubungannya dengan orang lain, sehngga kebebasan
moralitasnya senantiasa berhadapan dengan masyarakat.
Dasar
filosofis sebagaimana terkandung dalam pancasila yang nilainya terdapat dalam
budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah
bersifat `monodualisme’ yaitu sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagi
makhluk sosial. Maka sifat dan ciri khas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia
bukanlah hanya demi tujuan kepentingan individu-individu belaka. Dan bukan juga
demi tujuan kolektivitas saja melainkan tujuan bersama baik meliputi
kepentingan dan kesejahteraan individu maupun masyarakat secara bersama. Dasar
ini merupakan basis moralitas bagi pelaksanaan dan penyelenggaraan negara,
sehingga konsekuensinya segala keputusan, kebijaksanaan serta arah dari tujuan
negara Indonesia harus dapat dikembalikan secara moral kepada dasar-dasar
tersebut.
2)
Dimensi
Politis Kehidupan Manusia
Dalam kehidupan manusia secara alamiah, jaminan atas kebebasan manusia baik
sebagai individu maupun makhluk sosial sulit untuk dapat dilaksanakan, karena
terjadinya perbenturan kepentingan di antara mereka sehingga terdapat suatu
kemungkinan terjadinya anarkisme dalam masyarakat. Dalam hubungan inilah
manusia memerlukan suatu masyarakat hukum yang mampu menjamin hak-haknya, dan
masyarakat itulah yang disebut negara. Oleh karena itu berdasarkan sifat kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dimenensi politis
mencangkup lingkaran kelembagaan hukum dan negara, sistem-sistem nilai sena
ideologi yang memberikan legitimasi kepadanya.
Maka etika politik berkaitan dengan objek formal etika yaitu, tujuan
berdasarkan prinsip-prinsip dasar etika, terhadap objek material politik yang
meliputi legitimasi negara, hukum, kekuasaan serta penilaian kritis terhadap
legitimasi-legitimasi tersebut.
4. Nilai-nilai Pancasila Sebagai Etika Politik
Sebagai dasar filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber
derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber
moralitas, terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta
berbagai kebijakan dalam melaksanakan dan penyelenggaraan negara. Sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa, serta Sila kedua kemanusiaan yang adil dan beradab'
adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan
yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV). Dalam pelaksanaan politik
praktis hal-hal yang menyangkut kekuasaan eksekutif, legislatif serta
yudikatif, konsep pengambilan keputusan, pengawasan serta partisipasi harus
berdasarkan legitimasi dari rakyat, atau dengan lain perkataan harus memiliki
‘legitimasi demokratis’.Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi
praktis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara korelatif
diantara ketiganya.
Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut
terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat
Ekskutif, anggota legislatif maupun yudikatif, para pejabat negara, anggota DPR
maupun MPR aparat pelaksana dan penegak hukum, harus menyadari bahwa selain
legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus berdasar pada legitimasi
moral. Misalnya suatu kebijakan itu sesuai dengan hukum belum tentu sesuai
dengan moral. Misalnya gaji Para pejabat dan angota DPR, MPR itu sesuai dengan
hukum, namun mengingat kondisi rakyat yang sangat menderita belum tentu layak
secara moral.
5. Penerapan
Nilai-nilai Etika Pancasila dalam Kehidupan Politik.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar
kekuasaan dalam Negara dijalankan sesuai dengan asas legalitas (legitimasi
hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, disahkan dan
dijalankan secara demokratis (legitimasi demokrasi), dan dilaksanakan
berdasarkan prinsip-prinsip moral (legitimasi moral). Pancasila sebagai
suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan
penyelenggaraan Negara, baik itu yang berhubungan dengan kekuasaan, kebijakan umum,
pembagian serta kewenangan harus berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung
dalam pancasila. Dengan demikian, pancasila merupakan sumber moralitas dalam
proses penyelenggaraan Negara, terutama dalam hubungannya dengan legitimasi
kekuasaan dan hukum. Pelaksanaan kekuasaan dan penegakan hukum dinilai bermoral
jika selalu berdasarkan pancasila, bukan berdasarkan kepentingan penguasa
belaka. Jadi pancasila merupakan tolok ukur moralitas suatu penggunaan
kekuasaan dan penegakan hukum.
6. Penutup
Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernyataan tersebut
secara normative merupakan artikulasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi harus diingat, pernyataan
tersebut bukan sebuah penegasan bahwa Indonesia adalah Negara teokrasi yang
mendasarkan kekuasaan Negara dan penyelenggaraan Negara berdasarkan legitimasi
religious, dimana kekuasaan kepala Negara bersifat absolute atau mutlak. Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa lebih berkaitan legitimasi moral. Artinya, proses penyelenggaraan
Negara dan kehidupan Negara tidak boleh diarahkan pada paham anti Tuhan dan
anti agama, akan tetapi kehidupan dan penyelenggaraan Negara harus selalu
berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian sila pertama
merupakan legitimasi moral religious bagi bangsa Indonesia.
Selain berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Negara Indonesia juga harus
berkemanusiaan yang adil dan beradab. Dengan kata lain, kemanusiaan yang adil
dan beradab memberikan legitimasi moral kemanusiaan dalam penyelenggaraan
Negara. Negara pada prinsipnya adalah persekutuan hidup manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa. Manusia merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan
penyelenggaraan Negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan mempunyai
kedudukan mutlak dalam kehidupan Negara dan hukum, sehingga jaminan hak asasi
manusia harus diberikan kepada setiap warga Negara. Sila Kemanusiaan Yang Adil
dan Beradab mempunyai keterkaitan yang sangat erat dengan sila Ketuhanan Yang
Maha Esa. Kedua sila tersebut memberikan legitimasi moral religius (sila
Ketuhanan Yang Maha Esa) dan legitimasi moral kemanusiaan (sila Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab) dalam kehidupan dan proses penyelenggaraan Negara,
sehingga Negara Indonesia terjerumus ke dalam Negara kekuasaan.
Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan juga merupakan sumber etika politik bagi bangsa
Indonesia. Sila ini menegaskan bahwa Negara berasal dari rakyat dan segala
kebijakan dan kekuasaan diarahkan senantiasa untuk rakyat. Sila ini memberikan
legitimasi demokrasi bagi penyelenggaraan Negara. Oleh karena itu, dalam proses
penyelenggaraan Negara, segala kebijakan, kewenangan dan kekuasaan harus
dikembalikan kepada rakyat. Dengan demikian, aktivitas politik praktis yang
menyangkut kekuasaan ekseekutif, legislatif dan yudikatif serta konsep
pengambilan keputusan, pengawasan dan partisipasi harus berdasarkan legitimasi
dari rakyat.
Sila keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia memberikan legitimasi hukum
(legalitas) dalam kehidupan dan penyelenggaraan Negara. Indonesia merupakan
Negara hukum yang selalu menjunjung tinggi aspek keadilan sosial. Keadilan
sosial merupakan tujuan dalam kehidupan Negara, yang menunjukkan setiap warga
Negara Indonesia mendapatkan perlakuan adil dalam bidang hukum, politik,
sosial, ekonomi dan kebudayaan. Oleh karena itu, untuk mencapai aspek keadilan
tersebut, kehidupan dan penyelenggaraan Negara harus senantiasa berdasarkan
hukum yang berlaku. Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip keadilan dalam
kehidupan Negara, yang bisa mengakibatkan hancurnya tatanan hidup kenegaraan
serta terpecahnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila pancasila harus dijadikan
patokan bagi setiap penyelenggara Negara dan rakyat Indonesia. Nilai-nilai
tersebut harus diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga pada
akhirnya akan terbentuk suatu pemerintahan yang etis serta rakyat yang bermoral
pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar